Tapis Mengajarkan Kehidupan
Hafifah Azahra
“Untuk
ujian praktik nanti, bapak sudah menyiapkan tugas yang harus kalian kerjakan.
Ini berbeda dengan tahun sebelumnya. Jadi kalian harus lebih berusaha.”
Eliana
mendengar guru seni rupanya berceloteh. Seni rupa sudah menjadi seni pilihan
untuk dipelajarinya dari kelas satu SMA hingga kelas tiga SMA. Ada beberapa alasan Eliana memilih seni rupa.
Salah satunya adalah, ia tidak berani berhadapan dengan khalayak ramai. Jika
seni musik saat ujian praktik harus bernyanyi di depan panggung atau bermain
alat musik dan ditonton oleh banyak orang, seni tari yaitu menari di atas
panggung dan tentunya ditonton pula oleh banyak orang. Berbeda dengan seni rupa
yang biasanya hanya membuat suatu karya, setelah selesai tinggal dikumpul saja.
“Tugasnya
adalah kalian harus membuat desain pakaian atas atau baju sebagus mungkin, lalu
kalian wujudkan desain itu menjadi bentuk nyata. Saat ujian praktik seni,
kalian akan mempresentasikan pakaian yang kalian buat.”
Mata Eliana
terbelalak. Membuat baju? Presentasi? Di depan panggung? Ya Tuhan.. Padahal
Eliana sudah merasa aman ketika ujian praktik tidak harus berdiri di atas
panggung. Tapi kali ini...
“Apa kalian
sanggup?” tanya Bapak Muamar.
Sebagian
murid menjawab “sanggup”, dan setengahnya lagi mulai ribut membicarakan tugas
praktik tersebut. Sedangkan Eliana sudah terdiam. Digantung tinggi dibuang
jauh: Pasrah!
***
“Hai, El!” Clara yang duduk manis di
bangkunya menyapa Eliana dengan senyuman manis. Namun ia terheran ketika
melihat Eliana masuk ke kelas dengan wajah tidak seperti biasanya. Sahabatnya
itu terlihat lesu. Kemudian ia bertanya saat sahabatnya sudah duduk di
bangkunya. “Pulang dari kelas seni, kok, lesu, sih? Kamu kenapa?”
Eliana menangkupkan kedua tangannya
di depan muka, kemudian dengan terkesan lengket, tangannya itu dibawa kebawah
dagu. “Seni rupa bikin aku nangis,” jawabnya.
Clara tersenyum. “Ih, kamu nggak
nangis, gitu.”
“Yaudah, aku nangis sekarang, nih!”
Ekspresi Eliana mulai dibuat-buat seperti orang yang sedang sedih.
“Eh, jangan, dong.” Clara tak tega
melihat Eliana seperti itu. “Sekarang kamu cerita, deh, yang sebenarnya
terjadi. Ada apa sama seni rupa?”
“Waktu ujian praktik nanti, anak
seni rupa disuruh buat desain baju sebagus mungkin. Terus, desain itu dibuat
baju beneran. Kan, ribet banget. Dipresentasiin lagi di atas panggung.”
“Ha?” Mata Clara tak kalah lebar
dengan mata Eliana saat mendengar info dari Bapak Muamar. “Masa, sih? Yang aku
dengar, tahun kemarin seni rupa nggak ribet kaya gini, deh. Cuma disuruh bikin
kerajinan, atau melukis aja. Nanti dipamerin di stan.”
“Makanya itu. Nggak mungkin aku mau
buat batik. Batik, kan, banyak dijual di pasar. Nanti aku dikira beli lagi.”
Clara menghela nafas. “Kalau seni
musik, cuma disuruh nyanyi aja, pentasin satu lagu. Terserah mau lagu daerah
atau pop. Kalau aku mau pentasin lagu daerah yang sudah diaransemen.”
“Enaknya...,” gumam Eliana.
“El, kira-kira Intan buat baju yang
kaya apa, ya? Kamu, kan, pernah cerita kalau di seni rupa dia selalu menjadi
nomor satu.”
Eliana mengangkat bahu, tertanda
tidak tahu. Lalu ia menundukkan kepalanya. Terlihat seperti tak punya tulang
dilehernya.
“Emm, pindah seni musik aja, El.”
Eliana menoleh, masih dengan kepala
menunduk. “Maksud kamu?” tanya Eliana polos. Kemudian ia sadar bahwa Clara
hanya bergurau. “Ya pasti nggak boleh, lah! Kita udah kelas tiga. Lagi pula,
kamu pasti tahu sifatku.”
Iya, Clara tahu benar sifat Eliana
yang demam panggung. “Ya.. apa boleh buat?”
***
Lesunya
Eliana masih terbawa hingga ia pulang sekolah. Jam dua ia sudah melenggang
keluar kelas. Dengan dukungan awan berwarna gelap yang mewakili perasaan
hatinya saat ini.
Eliana terpaksa
berteduh di gerbang sekolah ketika hujan tiba-tiba turun. Eliana pun merasa
hujan adalah pendukung hatinya yang sedang tak keruan. Ditambah dengan adanya
Intan dan temannya yang juga sedang berteduh di gerbang. Eliana membalikkan
badan. Tak mau suasana hatinya semakin turun begitu melihat mereka terlalu
lama.
“Ra, di
tahun ini, seni rupa ada yang beda, lho.”
Eliana
mendengar Intan berbicara. Ia tahu itu suara Intan, dengan logatnya yang
terkesan pamer.
“Apa itu?”
temannya merespon.
“Anak seni rupa
bakal nge-desain baju, dan dibuat langsung. Aku nggak sabar nunggu ujian
praktik nanti. Aku mau mempresentasikan karyaku. Aku bakal buat baju yang
anggun dan bahannya juga mahal. Waktu presentasi, aku akan nunjukin ke guru
bahan apa yang aku pakai. Pasti nilaiku besar untuk ujian praktik nanti.”
“Oh, ya?
Bagus dong..,” sahut temannya lagi.
“Iya.. Eh,
aku ngomongnya terlalu keras, ya? Nanti ada yang nyontek lagi..”
Ya Tuhan, gadis itu benar-benar membuatku
kesal, mentang-mentang Ibunya punya banyak kenalan, ia bisa seenaknya, ucap
Eliana dalam hati. Lihat saja, punyaku
nggak akan sama dengan kalian semua.
***
Beberapa hari setelah mengetahui
bentuk ujian praktik seni rupa, banyak murid seni rupa yang sudah mulai membuat
desain. Di kelas Eliana terdapat sepuluh orang murid seni rupa termasuk Eliana,
dan lebih dari setengahnya sudah mulai mengerjakan. Sedangkan yang lain masih
mencari ide.
Semakin berjalannya hari, bukannya
Eliana menemukan ide akan membuat baju berbentuk apa, ia malah semakin gundah.
Ia berpikir, jika satu per satu anak sudah mulai membuat desain baju, bisa-bisa
ia tidak kebagian ide. Ia khawatir dituduh menyamakan. Jadi ia harus segera
membuat juga memikirkan desain baju yang berbeda dari yang lain.
“Kira-kira apa, ya?” gumam Eliana
sambil berpikir.
Pada jam istirahat seperti ini,
biasanya murid-murid lebih memilih ke kantin untuk mengisi perut, tetapi Eliana
memilih ke perpustakaan untuk mengisi kertas yang kosong.
“Yang nggak sama dengan yang lain..
Apa, ya?” Eliana menutup matanya, tak mau konsentasinya pecah.
Tiba-tiba Eliana teringat seseorang
yang menyindirnya secara halus beberapa hari lalu, Intan. Mata Eliana terbuka
dan menatap lurus ke depan. “Anak itu sombong banget,” gumamnya kesal.
Namun kekesalannya berubah saat
tatapan lurusnya menemukan sesuatu. Buku di rak yang sudah berdebu. Buku itu
berjudul “Kain Tapis”. Eliana segera menghampiri buku itu dan mengambilnya.
Saat buku itu telah berada di tangan Eliana, ia merasakan debu yang sangat
banyak hingga buku itu terasa licin di tangannya.
“Ya ampun, pasti udah lama nggak
dibaca. Tinggal di Lampung, tapi nggak pernah baca buku tentang budaya
Lampung.” Eliana menggelengkan kepalanya. Merasa heran kepada murid yang ada di
SMA nya, termasuk pada dirinya sendiri.
Eliana membuka buku itu saat ia
kembali ke tempat duduknya. Dilihatnya daftar isi dan ia langsung membuka
halaman dua belas, dengan judul Motif Kain Tapis.
Kekaguman terpancar dari wajah
Eliana. Ia membaca ada dua puluh lebih motif kain tapis yang berbeda-beda dan
dengan makna yang berbeda pula.
“Ternyata punya makna juga.” Eliana
terus membaca. Ia semakin bersemangat. “Ya ampun, banyak banget maknanya. Semua
tentang kehidupan bermasyarakat.”
Tiba-tiba mata Eliana menangkap
sebuah kata yang mewakili Intan. Kata itu termasuk dalam arti dari motif kain
tapis. Baiklah, Eliana sudah menemukan ide cemerlang, yaitu kain tapis dan
motifnya.
***
Hari itu akhirnya datang juga. Hari
dimana ujian praktik dilaksanakan. Dua orang lagi. Dua orang lagi yang
presentasi, maka setelah itu Eliana-lah yang presentasi. Penyakit demam
panggung Eliana kambuh. Ia merasakan ketidakpercayaan bahwa hari ini ia harus
presentasi. Ia masih bertanya-tanya, benarkah hari ini ia harus maju ke
panggung?
Eliana mengisi rongga paru-parunya
dengan udara berlebih. Namun hal itu masih tidak bisa menenangkannya, dan
jantungnya tetap berdegup dengan kencang. Kalau saja ia bisa lari dari hari
ini, ia akan lari. Tapi masalahnya, ia pasti tidak akan mendapatkan nilai dari
ujian praktik seni rupa.
Eliana melirik baju yang sudah ia
kerjakan selama lebih dari dua minggu. Ia merasa yakin dengan hasil karyanya.
Namun penyakit yang menyerang Eliana telah menghalangnya.
Eliana merasakan sentuhan di
bahunya. Ia menoleh dan mendapati Clara tersenyum padanya.“El, jangan gugup
gitu, dong. Kamu pasti bisa.” Clara mengambil alih kedua tangan Eliana yang
terasa begitu dingin seperti es.
“Lihat baju hasil kamu. Masa kamu
mau menghancurkan baju sebagus itu.”
“Aku pengin nangis, Cla. Aku pengin
nangis,” ucap Eliana. Benar-benar gugup luar biasa.
“Nama kamu udah dipanggil tuh. Ini
saatnya kamu maju.” Clara menepuk bahu kanan Eliana.
***
Eliana
sudah menyampaikan pembukaan dengan gugup, dan saat menjelaskan baju hasil
karyanya, ia mencoba untuk tenang.
“Saya mengambil motif kain tapis ketak-ketikdan
kembang manggus. Kedua motif itu mempunyai makna tersendiri. Ketak-ketik
memiliki arti, kita sebagai manusia hidup sewajarnya saja, jangan berlebihan.
Sedangkan kembang maggus berarti bahwa kita seharusnya mengoreksi diri atau
introspeksi diri, karena sifat dan watak seseorang akan tercermin dari prilaku sehari-hari,”
jelas Eliana sambil menunjuk baju tapis merah muda karyanya dengan motif yang
indah. Selain itu, potongan baju dengan model yang indah juga sangat terlihat.
Presentasi
dengan waktu maksimal lima menit terasa sangat lambat berjalan. Padahal Eliana
ingin menghabiskan waktu lima menit itu.
“Begitu bijaksananya
Lampung. Tapis yang melambangkan daerah Lampung ternyata sangat banyak sekali
nilai-nilai yang mengajarkan kita untuk hidup baik dari motif-motifnya. Jadi
sudah sepatutnya budaya kita pelajari lebih dalam lagi dan kita lestarikan.
Sekian dari saya, bila ada salah kata saya mohon maaf.”
Presentasi
itu selesai, bertepatan dengan tanda waktu habis. Eliana menuruni panggung
dengan tangan yang sudah menghangat.
***
“Presentasimu
lancar,” sambut Clara dibelakang panggung.
Eliana
terduduk di lantai. Ia diam seribu bahasa, namun itu tanda bahwa ia melepaskan
kegundahan yang sejak beberapa jam ini menyerang hatinya. Kemudian ia menangis.
Air mata menuruni matanya.
“Hei, El,
kamu kenapa nangis? El!” Clara panik. “Kamu tadi lancar, lho. Nggak keliatan
kalo gugup.”
“Aku nggak
tahu kenapa aku nangis. Tapi aku ingin mengeluarkan segala rasa yang mengganjal
di hatiku. Biarin aku nangis, Cla.”
Clara
membiarkan Eliana menangis. Dan tangis Eliana berhenti tak lama setelah mereka
bercakap-cakap. Clara mengerti Eliana. Ia mengerti bahwa Eliana menangis karena
ia menangisi dirinya sendiri yang terlalu penakut. Namun suatu saat nanti,
Clara yakin bahwa tangis itu akan berubah menjadi senyuman, karena sahabatnya
itu mempunyai potensi. Eliana hanya butuh berlatih memberanikan dirinya.
***
“Eh, Eliana. Baju kamu tadi bagus juga,” ucap Intan tanpa
menatap Eliana yang ada di hadapannya. Ia terlihat enggan mengucapkan kalimat
tersebut. Namun tak bisa ia pungkiri, baju buatan Eliana memang bagus.
“Terimakasih,”
jawab Eliana sambil tersenyum. Kemudian tatapannya mengiringi kepergian Intan.
Baguslah..
Setidaknya Intan sudah mau menyampaikan pujian kepada orang lain. Dan memang
motif dari baju tersebut terinspirasi dari sifat Intan. Semoga Intan menyadari
itu dan mau merubah sifatnya.
“Eliana,
kamu sedang apa? Perkenalkan, ini bapak Zainudin. Beliau yang mengadakan
festival besar, yaitu festival krakatau tahun kemarin.” Bapak Muamar
memperkenalkan orang di sampingnya kepada Eliana.
Eliana
langsung menyalami pak Zainudin.
“Baju tapis
karya kamu tadi sangat bagus, Eliana. Saya berencana akan memamerkannya di
festival krakatau tahun ini. Apa kamu mau? Kamu bisa menjadi peserta yang
memakai baju tersebut dalam festival.”
“Benarkah,
pak?” Eliana sungguh merasa bahagia. “Saya mau, pak.”
Apakah
kini tapis mengajakku untuk selalu percaya diri di depan umum?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar