Cerpen ARKI 2015 [Tapis Mengajarkan Kehidupan]



Tapis Mengajarkan Kehidupan
Hafifah Azahra


              “Untuk ujian praktik nanti, bapak sudah menyiapkan tugas yang harus kalian kerjakan. Ini berbeda dengan tahun sebelumnya. Jadi kalian harus lebih berusaha.”
            Eliana mendengar guru seni rupanya berceloteh. Seni rupa sudah menjadi seni pilihan untuk dipelajarinya dari kelas satu SMA hingga kelas tiga SMA.  Ada beberapa alasan Eliana memilih seni rupa. Salah satunya adalah, ia tidak berani berhadapan dengan khalayak ramai. Jika seni musik saat ujian praktik harus bernyanyi di depan panggung atau bermain alat musik dan ditonton oleh banyak orang, seni tari yaitu menari di atas panggung dan tentunya ditonton pula oleh banyak orang. Berbeda dengan seni rupa yang biasanya hanya membuat suatu karya, setelah selesai tinggal dikumpul saja.
            “Tugasnya adalah kalian harus membuat desain pakaian atas atau baju sebagus mungkin, lalu kalian wujudkan desain itu menjadi bentuk nyata. Saat ujian praktik seni, kalian akan mempresentasikan pakaian yang kalian buat.”
            Mata Eliana terbelalak. Membuat baju? Presentasi? Di depan panggung? Ya Tuhan.. Padahal Eliana sudah merasa aman ketika ujian praktik tidak harus berdiri di atas panggung. Tapi kali ini...
            “Apa kalian sanggup?” tanya Bapak Muamar.
            Sebagian murid menjawab “sanggup”, dan setengahnya lagi mulai ribut membicarakan tugas praktik tersebut. Sedangkan Eliana sudah terdiam. Digantung tinggi dibuang jauh: Pasrah!
***
“Hai, El!” Clara yang duduk manis di bangkunya menyapa Eliana dengan senyuman manis. Namun ia terheran ketika melihat Eliana masuk ke kelas dengan wajah tidak seperti biasanya. Sahabatnya itu terlihat lesu. Kemudian ia bertanya saat sahabatnya sudah duduk di bangkunya. “Pulang dari kelas seni, kok, lesu, sih? Kamu kenapa?”
Eliana menangkupkan kedua tangannya di depan muka, kemudian dengan terkesan lengket, tangannya itu dibawa kebawah dagu. “Seni rupa bikin aku nangis,” jawabnya.
Clara tersenyum. “Ih, kamu nggak nangis, gitu.”
“Yaudah, aku nangis sekarang, nih!” Ekspresi Eliana mulai dibuat-buat seperti orang yang sedang sedih.
“Eh, jangan, dong.” Clara tak tega melihat Eliana seperti itu. “Sekarang kamu cerita, deh, yang sebenarnya terjadi. Ada apa sama seni rupa?”
“Waktu ujian praktik nanti, anak seni rupa disuruh buat desain baju sebagus mungkin. Terus, desain itu dibuat baju beneran. Kan, ribet banget. Dipresentasiin lagi di atas panggung.”
“Ha?” Mata Clara tak kalah lebar dengan mata Eliana saat mendengar info dari Bapak Muamar. “Masa, sih? Yang aku dengar, tahun kemarin seni rupa nggak ribet kaya gini, deh. Cuma disuruh bikin kerajinan, atau melukis aja. Nanti dipamerin di stan.”
“Makanya itu. Nggak mungkin aku mau buat batik. Batik, kan, banyak dijual di pasar. Nanti aku dikira beli lagi.”
Clara menghela nafas. “Kalau seni musik, cuma disuruh nyanyi aja, pentasin satu lagu. Terserah mau lagu daerah atau pop. Kalau aku mau pentasin lagu daerah yang sudah diaransemen.”
“Enaknya...,” gumam Eliana.
“El, kira-kira Intan buat baju yang kaya apa, ya? Kamu, kan, pernah cerita kalau di seni rupa dia selalu menjadi nomor satu.”
Eliana mengangkat bahu, tertanda tidak tahu. Lalu ia menundukkan kepalanya. Terlihat seperti tak punya tulang dilehernya.
“Emm, pindah seni musik aja, El.”
Eliana menoleh, masih dengan kepala menunduk. “Maksud kamu?” tanya Eliana polos. Kemudian ia sadar bahwa Clara hanya bergurau. “Ya pasti nggak boleh, lah! Kita udah kelas tiga. Lagi pula, kamu pasti tahu sifatku.”
Iya, Clara tahu benar sifat Eliana yang demam panggung. “Ya.. apa boleh buat?”
***
            Lesunya Eliana masih terbawa hingga ia pulang sekolah. Jam dua ia sudah melenggang keluar kelas. Dengan dukungan awan berwarna gelap yang mewakili perasaan hatinya saat ini.
            Eliana terpaksa berteduh di gerbang sekolah ketika hujan tiba-tiba turun. Eliana pun merasa hujan adalah pendukung hatinya yang sedang tak keruan. Ditambah dengan adanya Intan dan temannya yang juga sedang berteduh di gerbang. Eliana membalikkan badan. Tak mau suasana hatinya semakin turun begitu melihat mereka terlalu lama.
            “Ra, di tahun ini, seni rupa ada yang beda, lho.”
            Eliana mendengar Intan berbicara. Ia tahu itu suara Intan, dengan logatnya yang terkesan pamer.
            “Apa itu?” temannya merespon.
            “Anak seni rupa bakal nge-desain baju, dan dibuat langsung. Aku nggak sabar nunggu ujian praktik nanti. Aku mau mempresentasikan karyaku. Aku bakal buat baju yang anggun dan bahannya juga mahal. Waktu presentasi, aku akan nunjukin ke guru bahan apa yang aku pakai. Pasti nilaiku besar untuk ujian praktik nanti.”
            “Oh, ya? Bagus dong..,” sahut temannya lagi.
            “Iya.. Eh, aku ngomongnya terlalu keras, ya? Nanti ada yang nyontek lagi..”
            Ya Tuhan, gadis itu benar-benar membuatku kesal, mentang-mentang Ibunya punya banyak kenalan, ia bisa seenaknya, ucap Eliana dalam hati. Lihat saja, punyaku nggak akan sama dengan kalian semua.
***
Beberapa hari setelah mengetahui bentuk ujian praktik seni rupa, banyak murid seni rupa yang sudah mulai membuat desain. Di kelas Eliana terdapat sepuluh orang murid seni rupa termasuk Eliana, dan lebih dari setengahnya sudah mulai mengerjakan. Sedangkan yang lain masih mencari ide.
Semakin berjalannya hari, bukannya Eliana menemukan ide akan membuat baju berbentuk apa, ia malah semakin gundah. Ia berpikir, jika satu per satu anak sudah mulai membuat desain baju, bisa-bisa ia tidak kebagian ide. Ia khawatir dituduh menyamakan. Jadi ia harus segera membuat juga memikirkan desain baju yang berbeda dari yang lain.
“Kira-kira apa, ya?” gumam Eliana sambil berpikir.
Pada jam istirahat seperti ini, biasanya murid-murid lebih memilih ke kantin untuk mengisi perut, tetapi Eliana memilih ke perpustakaan untuk mengisi kertas yang kosong.
“Yang nggak sama dengan yang lain.. Apa, ya?” Eliana menutup matanya, tak mau konsentasinya pecah.
Tiba-tiba Eliana teringat seseorang yang menyindirnya secara halus beberapa hari lalu, Intan. Mata Eliana terbuka dan menatap lurus ke depan. “Anak itu sombong banget,” gumamnya kesal.
Namun kekesalannya berubah saat tatapan lurusnya menemukan sesuatu. Buku di rak yang sudah berdebu. Buku itu berjudul “Kain Tapis”. Eliana segera menghampiri buku itu dan mengambilnya. Saat buku itu telah berada di tangan Eliana, ia merasakan debu yang sangat banyak hingga buku itu terasa licin di tangannya.
“Ya ampun, pasti udah lama nggak dibaca. Tinggal di Lampung, tapi nggak pernah baca buku tentang budaya Lampung.” Eliana menggelengkan kepalanya. Merasa heran kepada murid yang ada di SMA nya, termasuk pada dirinya sendiri.
Eliana membuka buku itu saat ia kembali ke tempat duduknya. Dilihatnya daftar isi dan ia langsung membuka halaman dua belas, dengan judul Motif Kain Tapis.
Kekaguman terpancar dari wajah Eliana. Ia membaca ada dua puluh lebih motif kain tapis yang berbeda-beda dan dengan makna yang berbeda pula.
“Ternyata punya makna juga.” Eliana terus membaca. Ia semakin bersemangat. “Ya ampun, banyak banget maknanya. Semua tentang kehidupan bermasyarakat.”
Tiba-tiba mata Eliana menangkap sebuah kata yang mewakili Intan. Kata itu termasuk dalam arti dari motif kain tapis. Baiklah, Eliana sudah menemukan ide cemerlang, yaitu kain tapis dan motifnya.
***
Hari itu akhirnya datang juga. Hari dimana ujian praktik dilaksanakan. Dua orang lagi. Dua orang lagi yang presentasi, maka setelah itu Eliana-lah yang presentasi. Penyakit demam panggung Eliana kambuh. Ia merasakan ketidakpercayaan bahwa hari ini ia harus presentasi. Ia masih bertanya-tanya, benarkah hari ini ia harus maju ke panggung?
Eliana mengisi rongga paru-parunya dengan udara berlebih. Namun hal itu masih tidak bisa menenangkannya, dan jantungnya tetap berdegup dengan kencang. Kalau saja ia bisa lari dari hari ini, ia akan lari. Tapi masalahnya, ia pasti tidak akan mendapatkan nilai dari ujian praktik seni rupa.
Eliana melirik baju yang sudah ia kerjakan selama lebih dari dua minggu. Ia merasa yakin dengan hasil karyanya. Namun penyakit yang menyerang Eliana telah menghalangnya.
Eliana merasakan sentuhan di bahunya. Ia menoleh dan mendapati Clara tersenyum padanya.“El, jangan gugup gitu, dong. Kamu pasti bisa.” Clara mengambil alih kedua tangan Eliana yang terasa begitu dingin seperti es.
“Lihat baju hasil kamu. Masa kamu mau menghancurkan baju sebagus itu.”
“Aku pengin nangis, Cla. Aku pengin nangis,” ucap Eliana. Benar-benar gugup luar biasa.
“Nama kamu udah dipanggil tuh. Ini saatnya kamu maju.” Clara menepuk bahu kanan Eliana.
***
            Eliana sudah menyampaikan pembukaan dengan gugup, dan saat menjelaskan baju hasil karyanya, ia mencoba untuk tenang.
“Saya mengambil motif kain tapis ketak-ketikdan kembang manggus. Kedua motif itu mempunyai makna tersendiri. Ketak-ketik memiliki arti, kita sebagai manusia hidup sewajarnya saja, jangan berlebihan. Sedangkan kembang maggus berarti bahwa kita seharusnya mengoreksi diri atau introspeksi diri, karena sifat dan watak seseorang akan tercermin dari prilaku sehari-hari,” jelas Eliana sambil menunjuk baju tapis merah muda karyanya dengan motif yang indah. Selain itu, potongan baju dengan model yang indah juga sangat terlihat.
            Presentasi dengan waktu maksimal lima menit terasa sangat lambat berjalan. Padahal Eliana ingin menghabiskan waktu lima menit itu.
            “Begitu bijaksananya Lampung. Tapis yang melambangkan daerah Lampung ternyata sangat banyak sekali nilai-nilai yang mengajarkan kita untuk hidup baik dari motif-motifnya. Jadi sudah sepatutnya budaya kita pelajari lebih dalam lagi dan kita lestarikan. Sekian dari saya, bila ada salah kata saya mohon maaf.”
            Presentasi itu selesai, bertepatan dengan tanda waktu habis. Eliana menuruni panggung dengan tangan yang sudah menghangat.
***
            “Presentasimu lancar,” sambut Clara dibelakang panggung.
            Eliana terduduk di lantai. Ia diam seribu bahasa, namun itu tanda bahwa ia melepaskan kegundahan yang sejak beberapa jam ini menyerang hatinya. Kemudian ia menangis. Air mata menuruni matanya.
            “Hei, El, kamu kenapa nangis? El!” Clara panik. “Kamu tadi lancar, lho. Nggak keliatan kalo gugup.”
            “Aku nggak tahu kenapa aku nangis. Tapi aku ingin mengeluarkan segala rasa yang mengganjal di hatiku. Biarin aku nangis, Cla.”
            Clara membiarkan Eliana menangis. Dan tangis Eliana berhenti tak lama setelah mereka bercakap-cakap. Clara mengerti Eliana. Ia mengerti bahwa Eliana menangis karena ia menangisi dirinya sendiri yang terlalu penakut. Namun suatu saat nanti, Clara yakin bahwa tangis itu akan berubah menjadi senyuman, karena sahabatnya itu mempunyai potensi. Eliana hanya butuh berlatih memberanikan dirinya.
***
“Eh, Eliana. Baju kamu tadi bagus juga,” ucap Intan tanpa menatap Eliana yang ada di hadapannya. Ia terlihat enggan mengucapkan kalimat tersebut. Namun tak bisa ia pungkiri, baju buatan Eliana memang bagus.
            “Terimakasih,” jawab Eliana sambil tersenyum. Kemudian tatapannya mengiringi kepergian Intan.
            Baguslah.. Setidaknya Intan sudah mau menyampaikan pujian kepada orang lain. Dan memang motif dari baju tersebut terinspirasi dari sifat Intan. Semoga Intan menyadari itu dan mau merubah sifatnya.
            “Eliana, kamu sedang apa? Perkenalkan, ini bapak Zainudin. Beliau yang mengadakan festival besar, yaitu festival krakatau tahun kemarin.” Bapak Muamar memperkenalkan orang di sampingnya kepada Eliana.
            Eliana langsung menyalami pak Zainudin.
            “Baju tapis karya kamu tadi sangat bagus, Eliana. Saya berencana akan memamerkannya di festival krakatau tahun ini. Apa kamu mau? Kamu bisa menjadi peserta yang memakai baju tersebut dalam festival.”
            “Benarkah, pak?” Eliana sungguh merasa bahagia. “Saya mau, pak.”
Apakah kini tapis mengajakku untuk selalu percaya diri di depan umum?


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar